Menonton lagi AAdC pertama dan waswas dengan sekuelnya


Menonton lagi AAdC pertama dan waswas dengan sekuelnya
Kenapa AAdC jadi film yang terus dikenang?

CND - Apa yang happy people atau pembaca budiman lakukan saat Valentine pada 2002 silam? Kalau waktu itu kamu merayakan Valentine di bioskop, bisa jadi film yang kamu tonton Ada Apa dengan Cinta? (AAdC).
Ya, AAdC rilis menyambut Valentine waktu itu, tepatnya 8 Februari 2002.

Di waktu itu, sebagian besar dari kita mungkin masih kuliah, masih SMA, SMP, atau malah ada yang masih SD. Tapi, kita semua punya satu film favorit di masa itu: AAdC.
Membicarakan AAdC siapa yang bisa lupa dengan momen-momen di film itu atau dialognya ("Salah gue? Salah temen-temen gue?") atau puisinya ("Pecahkan saja gelasnya biar ramai"; "Ku lari ke hutan...").
AAdC tidak hanya salah satu film penting negeri ini yang dengan baik mengisahkan cerita remaja, tapi juga yang terlaris di masanya (waktu itu ditonton 2,7 juta pasang mata). Tapi, utamanya, film itu telah tertanam ke dalam memori kolektif banyak orang. Tidak banyak film nasional yang seperti itu.
Belum lama ini saya menonton lagi filmnya. Hitung-hitung menyegarkan ingatan menyambut sekuelnya yang bakal rilis 28 April nanti.

Kesan pertama usai menontonnya lagi adalah sebetulnya saya masih tak rela filmnya dilanjutkan. Bagi saya, yang membuat filmnya begitu dikenang adalah justru saat kita, penontonnya, mendapati Cinta dan Rangga berpisah di bandara.
Saat melihat mereka berpisah, kita memang tak melihat kisah asmara mereka berakhir bahagia, namun keinginan untuk menyaksikan mereka bersatu justru terus hinggap di benak kita. Dari situ, harapan untuk mereka bersatu selalu ada.
Miles Films tampaknya ingin menyuguhkan jawaban dari harapan penonton dengan membuat sekuelnya.
Boleh saja, meski begitu, saya takut ekspektasi alias harapan saya pada kisah Cinta dan Rangga berbeda dengan yang kelak saya tonton di bioskop dalam sekuelnya.
Sungguh, saya berharap-harap cemas pada sekuelnya.
Namun, saat ini saya ingin bernostalgia dahulu, sebelum dipuaskan (atau dikecewakan?) oleh sekuel AAdC.
Adegan film AAdC pertama.
dok. Miles Films/istimewa

 
Yang juga terasa lain, yang baru saya sadari, ternyata AAdC bukanlah film remaja yang enteng. Tengok saja, di bagian awal, setelah prolog musik yang nge-beat, film jadi murung. Kita lihat Alya (dimainkan Ladya Cheryl) curhat pada para sahabatnya, ia dan ibunya baru saja jadi korban KDRT sang ayah.
Mengawali cerita dengan persoalan besar begitu bukan khas film remaja. Tapi dengan jenius, filmnya bisa menyelipkan hal-hal besar tetap asyik jadi tontonan remaja.
Tengok pula latar belakang keluarga Rangga (Nicholas Saputra). Ia tinggal berdua dengan ayahnya. Dari ceritanya pada Cinta (Dian Sastrowardoyo) kita tahu ayahnya seorang pembangkang. Lantaran ulahnya, sang ayah kehilangan pekerjaan sebagai dosen. Cinta lalu bilang, sekarang zaman Reformasi, tekanan macam begitu kok masih berlaku?
Ayah Rangga menjawab, Reformasi cuma slogan. Keadaan belum berubah banyak.
Kemudian rumah Rangga dilempar bom molotov oleh pengendara motor. Ruang tamunya terbakar. Rangga mengejar. Pengendara motor berhasil kabur.
Lagi-lagi, tak banyak film remaja yang menyuguhkan perihal berat macam begitu, meyerempet soal pandangan politik. AAdC pertama menjadi kritik di masa itu bahwa Reformasi 1998 tak mengubah banyak keadaan negeri kala itu.
Adegan film AAdC pertama.
dok. Miles Films/istimewa

AAdC pertama lahir di masa yang tepat. Saat film Indonesia yang baik baru mulai bangkit. Generasi baru sineas yang lahir di penghujung Orde Baru (Mira LesmanaRiri Riza dkk) telah kian fasih membuat film. Kuldesak, rilis 1998, adalah karya percobaan mereka. Sedang AAdC (yang disutradarai Rudi Soedjarwo) adalah produk saat mereka kian fasih menggunakan medium film.
Saya setuj denagn yang dibilang pengamat budaya pop Hikmat Darmawan di Rolling Stone Indonesia edisi April 2016. Katanya, AAdC film komersial yang memenuhi semua syarat film komersial yang baik: ceritanya lancar, bintangnya cantik dan ganteng, musiknya enak didengar, dan bahasa visualnya enak dilihat.
Adegan film AAdC pertama.
dok. Miles Films/istimewa

Katanya pula, AAdC pertama jadi suara generasi awal 2000-an. Film remaja yang jadi fenomenal memang perlu syarat seperti itu bila ingin terus dikenang.
Sejarah mencatat Tiga Dara jadi juru bicara remaja tahun 1950-an, Badai Pasti Berlaludan Kampus Biru tahun 1970-an, sedang Gita Cinta dari SMA dan Catatan Si Boy tahun 1980-an.
Pertanyaan yang kemudian menggantung, bagaimana sejarah akan mencatat AAdC 2? Saya waswas dengan jawabannya, tapi di saat bersamaan saya ingin filmnya bernasib baik. Semoga.


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »